Fungsi
ruang tempat tinggal masyarakat Aceh menunjukkan bahwa secara tradisional rumoh
Aceh diperuntukkan untuk perempuan atau disebut juga sebagai rumoh inong, yaitu
sebagai berikut:
(1)
Seuramoe keue sebagai tempat menerima tamu laki-laki, tempat mengaji dan
belajar anak
laki-laki, sekaligus tempat tidur anak laki-laki, serta kepentingan umum lainnya.
(2) Seuramoe teungoh (serambi tengah) atau tungai bersifat tertutup sesuai dengan fungsinya
yaitu sebagai kamar tidur. Kamar sebelah barat ditempati oleh kepala keluarga (ibu dan
ayah), dan kamar sebelah timur (rumoh andjoeng) ditempati oleh anak perempuan. Jika
sebuah keluarga mempunyai lebih dari satu anak perempuan, maka kepala keluarga
membuat rumah terpisah atau terpaksa pindah ke belakang bagian barat. Serambi tengah
disebut juga dengan rumoh inong (rumah perempuan) karena laki-laki yang bukan muhrim
tidak diizinkan untuk memasuki zona tungai ini.
laki-laki, sekaligus tempat tidur anak laki-laki, serta kepentingan umum lainnya.
(2) Seuramoe teungoh (serambi tengah) atau tungai bersifat tertutup sesuai dengan fungsinya
yaitu sebagai kamar tidur. Kamar sebelah barat ditempati oleh kepala keluarga (ibu dan
ayah), dan kamar sebelah timur (rumoh andjoeng) ditempati oleh anak perempuan. Jika
sebuah keluarga mempunyai lebih dari satu anak perempuan, maka kepala keluarga
membuat rumah terpisah atau terpaksa pindah ke belakang bagian barat. Serambi tengah
disebut juga dengan rumoh inong (rumah perempuan) karena laki-laki yang bukan muhrim
tidak diizinkan untuk memasuki zona tungai ini.
(3) Serambi belakang (seuramoe likot) merupakan ruang tambahan yang sering disebut dengan
ulee keude, dan berfungsi sebagai dapur.
Pembagian
ruang yang memperlihatkan adanya pembedaan antara zona laki-laki dan zona
perempuan, dipengaruhi oleh aturan perkawinan dan adat peunulang yang berlaku.
Rumah merupakan milik perempuan dan laki-laki dianggap sebagai tamu yang harus
dihormati, sehingga tidak diperbolehkan untuk memasuki serambi tengah dan
dapur. Peraturan adat ini berkaitan dengan ajaran agama Islam yang memisahkan
ruang privat antar gender, sehingga rumoh Aceh di disain untuk melindungi
perempuan agar tidak terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan muhrimnya,
serta dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kriminalitas dan lain
sebagainya.
Fungsi
dan peruntukan ruang-ruang pada rumoh Aceh membentuk struktur ruang tempat
tinggal, yaitu dari frekuensi dan tingkat kepentingan berdasarkan penggunaan
ruang dalam kegiatan keluarga sehari-hari dan saat terjadi ritual.
Seuramoe keue (serambi depan) merupakan ruang yang paling sering digunakan dalam aktivitas berskala rumah tangga (mikro). Ruang ini merupakan core area (area inti/pusat) dari rumoh Aceh, karena menjadi tempat berkumpul, baik antar anggota keluarga maupun dengan kerabat yang lebih jauh, ketika terjadi ritual budaya, tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya pada ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery), yaitu seuramoe teungoh (tungai) dan dapur, hanya diperbolehkan untuk perempuan.
Seuramoe keue (serambi depan) merupakan ruang yang paling sering digunakan dalam aktivitas berskala rumah tangga (mikro). Ruang ini merupakan core area (area inti/pusat) dari rumoh Aceh, karena menjadi tempat berkumpul, baik antar anggota keluarga maupun dengan kerabat yang lebih jauh, ketika terjadi ritual budaya, tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebaliknya pada ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery), yaitu seuramoe teungoh (tungai) dan dapur, hanya diperbolehkan untuk perempuan.
Struktur
ruang pada rumoh Aceh menunjukkan dualisme, yaitu bagian pusat untuk laki-laki
serta tempat untuk berbagai acara ritual, sementara bagian pinggiran untuk
perempuan. Dualisme terjadi karena sistem sosial budaya yang dianut masyarakat
Aceh, yaitu dualisme antara ajaran Islam yang cenderung patriarkal, dengan adat
peunulang Aceh yang bersifat matriarkal. Meskipun pada dasarnya rumah merupakan
milik perempuan dan dikuasai oleh perempuan, nilai-nilai patriarkal yang
menghormati kaum laki-laki, tetap dipegang teguh oleh masyarakat Aceh. Struktur
dualisme ini disebut oleh Levi Strauss (1963:142) sebagai keseimbangan sosial.
0 Komentar